Langsung ke konten utama

ANALISIS PUISI CHAIRIL ANWAR CINTAKU JAUH DI PULAU

ESTETIKA SASTRA

Dosen pembimbing :
Drs. M. Zaini, M.Pd








Disusun Oleh :

Lailatul Fitria (16188201046)



Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan
2016-2017



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta, huruf Dewanagari yang berasal dari kata su dan sastra. Su artinya indah dan sastra artinya karya, jadi yang dimaksud dengan sastra adalah karya yang indah. Karya sastra dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : puisi, prosa, dan drama. Saya akan menganalisis karya sastra yang berupa puisi dengan judul “Cintaku jauh di pulau”.
Ketika menulis puisi “Cintaku jauh di pulau”. Chairil Anwar menceritakan kasih tak sampai dengan pengorbanan yang sangat besar, yaitu ajal. Alasan saya memilih puisi “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar adalah karena saya juga merasakan kesedihan, pengorbanan si aku untuk sampai pada kekasihnya yang manis di pulau yang jauh, namun yang sampai dulu adalah ajal. Karena itulah, saya memilih puisi “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar ini. Puisi ini menyadarkan kepada setiap manusia harus berjuang demi cintanya.

1.2  Batasan Masalah
    1)   Gaya bahasa apa saja yang dipakai pengarang?
     2)  Gaya bahasa apa yang paling dominan didalam karyanya?

1.3  Tujuan
1)      Mendeskripsikan gaya bahasa apa saja yang dipakai pengarang.
2)      Mendeskripsikan gaya bahasa yang paling dominan didalam karyanya.



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Sastra dan Keindahan
Sastra dapat didekati dari dua segi : segi bahasa tentang tekanan pada aspek kebahasaanya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain; segi seni dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk-bentuk seni yang lain. Mendekati sastra dari segi seni berarti mendekati sastra dari segi estetika atau keindahan. Akan tetapi sastra lebih ditekankan pada aspek bahasanya karena aspek seni pada sastra melekat pada penggunaan bahasa itu sendiri.
Keindahan itu sebagai sebuah nilai, kualitas, maka keindahan dalam karya sastra terletak pada nilainya sebagai karya seni. Sekali lagi, nilai karya sastra ditentukan oleh pembaca. Karya sastra adalah struktur yang tetap (tidak akan berubah sebelum diubah) sementara pembaca adalah pribadi yang berubah. Kalau dahulu, ia menyatakan bagus, sekarang mungkin tidak dan di masa yang akan datang mungkin bagus lagi. Begitulah keindahan dalam sastra. Adakalanya masyarakat mengikuti kemauan pencipta; adakalanya pencipta mengikuti kemauan masyarakat. Nilai keindahan karya sastra kadang-kadang ditentukan oleh masyarakat; kadang-kadang pandangan masyarakat terhadap nilai keindahan ditentukan oleh sastrawan. Pengaruh mana yang kuat, itulah yang menentukan. Oleh karena itu, keindahan dalam sastra berkaitan dengan penggunaan bahasa (Atmazaki, 1990 : 92-93).

2.2  Puisi dan Sajak
Digunakannya istilah sajak karena kecenderungan lebih banyak yang menggunakan istilah sajak daripada puisi. Banyak cara telah digunakan para pakar sastra untuk membuat batasan sajak. Ada yang menatakan sajak adalah karangan terikat oleh bait dan baris, serta rima dan irama. Shahnon Ahmad dalam Djokopradoko (1987:6) telah mengumpulkan definisi-definisi sajak yang dikemukakan oleh penyair romantik, tetapi ia menggunakan istilah puisi. Puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah (Samuel Taylor Coloridge); puisi merupakan pemikiran bersifat musikal (Carlyle); puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif (Wordsworth); puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita (Shelly); dan beberapa defisini lain. (Atmazaki , 1990:30)

2.3  Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata, maka makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut (Abdul Chaer, 2012 : 292).

2.4  Unsur Intrinsik
            Unsur Intrinsik adalah unsur yang membangun suatu karya sastra dari dalam yang meliputi tema, rima, pemilihan kata/diksi, citraan, nada/suasana, majas/gaya bahasa, nilai etika/ moral.
        
       2.4.1        Tema
            Tema adalah gagasan sentral pengarang yang mendasari penyusunan suatu cerita dan sekaligus menjadi sasaran dari cerita itu. Jadi, tema merupakan perpaduan antara pokok persoalan dan tujuan yang ingin dicapai pengarang lewat cerita itu. Tema merupakan barang abstrak. Oleh sebab itu, penentuannya harus memahami terlebih dahulu bagian-bagian yang mendukung cerita itu, yaitu tokoh dan perwatakannya, latarnya, suasananya, alurnya, dan persoalan yang dibicarakannya. Apabila pembaca telah dapat menentukan atau menemukan tema dari karya sastra yang dibacanya, berarti ia telah mengetahui apa tujuan pengarang dalam ceritanya. (Apresiasi Sastra Malang: Yayasan Asih Asah Malang (Y A 3 MALANG) : 22-23)

        2.4.2        Rima
      Perulangan bunyi atau rima yang cerah, ringan, yang menunjukkan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi disebut euphony. Biasanya bunyi-bunyi i, e, dan a merupakan pleasantness sound atau keceriaan bunyi itu. Sebagai lawan dari euphony adalah cacophony, yaitu perulangan bunyi-bunyi yang berat, menekan, menyeramkan, mengerikan, seolah-olah seperti suara desau atau bunyi burung hantu. Bunyi-bunyi mencekam seperti ini berasosiasi dengan hantu hitam yang siap menerkam mangsanya. Biasanya bunyi-bunyi seperti itu diwakili oleh vokal-vokal o, u, e atau diftong au. (Henry Guntur Tarigan, 1984: 37-38)

       2.4.3        Pemilihan Kata
        Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi.
     Bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis (Barfield, 1952: 41). Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
       Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal ini ia memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenberd, 1970: 9). Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. (Rachmat Djoko Pradopo, 1987 : 54)

          2.4.4        Citraan

        Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), disamping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery). Macam- macam citraan: 1) Citraan penglihatan (visual imagery) 2) Citraan pendengaran (auditory imagery) 3) Citraan perabaan (tactile/ thermal imagery) 4) Citraan penciuman dan pencecapan 5) Citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). (Rachmat Djoko Pradopo, 1987 : 79)

2.4.5        Nada/Suasana
§       Nada dalam perpuisian dapat diartikan sebagai sikap sang penyair terhadap pembacanya. Dengan kata lain sikap sang penyair terhadap para pemikat karyanya. Nada yang dikemukakan oleh seorang penyair dalam suatu sajak, ada hubungannya dengan tema dan rasa yang terkandung pada sajak tersebut. (Tarigan, 1984: 18)

§      Nada atau suasana atau “mood” yang terdapat dalam suatu peristiwa biasanya erat sekali hubungannya dengan latar cerita. Latar cerita tertentu dapat menimbulkan suasana tertentu. Suasana ini dapat berupa suasana batin dan dapat pula berupa suasana lahir. Wujud suasana batin misalnya rasa tegang, benci, senang, acuh, simpati, sendu, dan sebagainya. Wujud suasana lahir misalnya kesepian kota, keramaian kota, kegersangan gunung kapur, kesuburan di daerah tambak, dan sebagainya. (Apresiasi Sastra Malang: Yayasan Asih Asah Malang (Y A 3 MALANG) : 17)

      2.4.6        Majas/Gaya Bahasa
  ·         Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca, begitu kata Slametmuljana (Tt:20). Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. (Rachmat Djoko Pradopo, 1987 : 93)
  ·     Gaya bahasa adalah alat tertentu yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik atau terpukau atasnya. Apabila gaya bahasa yang dikapai oleh pengarang telah menghasilkan “daya” tertentu kepada pembacanya, berarti gaya bahasa yang digunakan telah mencapai “plastis bahasa” (Apresiasi Sastra Malang: Yayasan Asih Asah Malang (Y A 3 MALANG)).
Gaya bahasa menurut Gorys  Keraf (2004: 1-10) ada dua, yaitu : 1) gaya bahasa retoris 2) gaya bahasa kiasan :
1)      Gaya bahasa retoris
a.       Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
b.      Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.
c.       Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
d.      Apofasis atau preterisio merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.
e.       Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk penghalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
f.       Asidenton adalah suatu gaya bahasa yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
g.      Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asidenton.
h.      Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik farasa atau klausa yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
i.        Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
j.        Eufemismus adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
k.      Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
l.        Histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.
m.    Pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan.
n.      Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan.
o.      Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa dimana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.
p.      Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki suatu jawaban.
q.      Silepsis atau zeugma adalah gaya dimana orang mempergunakan dua kontruksi ratapan dengan menghubungkan sebuah kata dengan kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
r.        Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
s.       Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
t.        Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
u.      Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.

2)      Gaya Bahasa Kiasan
a.       Persamaan simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit/langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.
b.      Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
c.       Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.
d.      Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral.
e.       Fabel adalah semacam metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel  adalah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti.
f.       Personifikasi atau prosopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
g.      Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestiakan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa.
h.      Eponim adalah suatu gaya dimana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.
i.        Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu farasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.
j.        Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.
k.      Metonimia adalah suatu gaya yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
l.        Antonomasia adalah gaya bahasa dari sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitera untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan.
m.    Hipalase adalah semacam gaya bahasa dimana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.
n.      Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dari rangkaian kata-katanya.
o.      Sinisme adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan atau ketulusan hati.
p.      Sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.
q.      Paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi.


Gaya bahasa menurut Henry Guntur Tarigan (1-10) ada empat, yaitu : 1) majas perbandingan, 2) majas pertentangan, 3) majas pertautan, 4) majas perulangan.
1)      Majas Perbandingan
a.       Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, dan laksana.
b.      Metafora (kiasan) adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
Alegori (kiasan) adalah cerita yang diceritakan dalam lambang-lambang. Merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah obyek-obyek atau gagasan yang diperlambangkan.
c.       Personifikasi adalah jenis majas yang meletakkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan idea yang berbentuk abstrak.
d.      Antitesis adalah sejenis majas yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim.

2)      Majas Pertentangan
a.       Hiperbola adalah sejenis majas yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya dengan maksud membei penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.
b.      Litotes adalah majas yang didalam pengungkapan menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan.
c.       Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok.
d.      Oksimoron adalah majas yang mengandung penegakan atau pendirian suatu hubungan sintaksis antara dua antonim.
e.       Paronomasia adalah majas yang berisi penjajaran kata-kata berbunyi sama tetapi bermakna lain, kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda maknanya.
f.       Paralipsis adalah majas yang merupakan suatu formula yang dipergunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri.
g.      Zeugma adalah majas yang merupakan koordinasi atau gabungan gramatis dua kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan, seperti abstrak dan kongkrit.

3)      Majas Pertautan
a.       Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya.
b.      Sinekdok adalah majas yang menyebutkan nama sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya.
c.       Alusi adalah majas yang menunjuk secara tidak langsung kesuatu peristiwa atau tokoh yang berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap pengacuan itu.
d.      Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang tidak, menyenangkan.
e.       Elipsis adalah majas yang didalamnya dilaksanakan pembuangan atau penghilangan kata atau kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa (S-P-O-K).
f.       Inversi adalah majas yang merupakan permutasi atau perubahan urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis, dengan kata lain yaitu perubahan (SP) menjadi (PS).
g.      Gradasi adalah majas yang mengandung suatu rangkaian dan urutan (paling sedikit tiga) kata atau istilah secara sintaksis bersamaan yang mempunyai satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan yang diantaranya paling sedekit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif.

4)      Majas Perulangan
a.       Aliterasi adalah sejenis majas yang memanfaatkan purwakanti atau kata-kata yang permulaannya sama bunyinya.
b.      Antanaklasis adalah majas yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda atau ulangan kata yang berhomonim.
c.       Kiasmus adalah majas yang berisikan perulangan atau repetisi dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.
d.      Repetisi adalah majas yang mengandung pengulangan berkali-kali kata atau kelompok kata yang sama.

        2.4.7        Nilai Etika/Moral
       Karya sastra merupakan pancaran dari hidup dan kehidupan. Dikaitkan demikian sebab karya sastra dihasilkan oleh pengarang berdasarkan pengalaman hidupnya atau kehidupannya. Oleh sebab itu, dari masalah atau persoalan yang dituangkan dalam karya sastra dapat dicari atau ditarik nilai-nilai kehidupan. Dari nilai-nilai itu dapat ditarik pelajaran atau kemanfaatan : yang baik dilaksanakan dan yang jelek ditinggalkan. Nilai-nilai kehidupan yang ada dalam karya dapat berhubungan dengan keagamaannya, etika, sosial, perjuangan atau pengorbanan, dan adat (Apresiasi Sastra Malang: Yayasan Asih Asah Malang (Y A 3 MALANG) : 23)




BAB III
ANALISIS

3.1  Puisi

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Chairil Anwar, 1946)


No
Fokus
Sub Fokus
Sumber Data
Data
Kode Data
1.
Kasih tak sampai
Mencekam
Puisi “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar
Ajal bertakhta, sambil berkata: (baris ke 9)
01:9




“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,” (baris ke 10)
02:10



Perahu yang bersama ‘kan merapuh! (baris ke 12)
03:12
2.

Pengorbanan

Perahu melancar, bulan memancar (baris ke 3)
04:3



di perasaan penghabisan segala melaju (baris ke 8)
05:8



Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! (baris ke 11)
06:11
3.

Putus asa

Aku tidak ‘kan sampai padanya (baris ke 6)
07:6



kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri (baris ke 16)
08:16
4.

Kegagalan

Mengapa Ajal memanggil dulu (baris ke 13)
09:13




Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! (baris ke 14)
10:14

Puisi berjudul “cintaku jauh di pulaumenceritakan usaha aku yang akan menyampaikan keinginanya yang sangat diidam-idamkan, yang dikiaskan sebagai gadis manis yang mungkin gadis manisnya itu adalah pacarnya yang sedang berada di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan berjalan dengan baik, perjalan lancar : bulan memancar, perahu melancar, dan angin membantu bertiup dari buritan, namun aku merasa bahwa tidak ada mencapai pacarnya yang disebut gadis manis yang selalu dicita-citakan. Hal ini disebabkan oleh perasaan bahwa maut akan lebih awal datang. Maka dari itu meski sudah menghabiskan banyak waktu dan segala usaha telah dilakukannya hal itu akan menjadi percuma karena sudah diatur oleh garis nasib.

3.2  Tema
Tema adalah isi keseluruhan puisi, maksud, dan tujuan penulisan. Tema puisi dari Chairil Anwar ini adalah Kasih Tak Sampai. Dapat dilihat dari arti/makna puisi pada setiap baitnya, yakni :

Bait 1 :
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirian atau sedang iseng tanpa kehadiran tokoh aku.
Bait 2 :
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Bait kedua aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai atau menemui kekasihnya, disinilah menunjukan pengorbanan aku untuk gadis manisnya. Ketika itu cuaca sangat bagus dan malam ketika bulan bersinar, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya, dan dilarik ini lah tergambar keputus asaan aku.
Bait 3 :
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
 Bait ketiga menceritakan perasaan aku yang semakin sedih karena walaupun air tenang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya. di perasaan penghabisan segala melaju. Pengorbanan aku sangatlah besar. Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja” suasana pada larik tersebut sangat mencekam si aku.
Bait 4 :
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Bait keempat menunjukkan pengorbanan aku dan keadaan yang mencekam yang telah dilewatinya. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya terlebih dahulu sebelum ia bertemu dengan kekasihnya. Disinilah aku merasakan kegagalan yang mendalam dan semakin berganti bait, kesedihan itu semakin memuncak. Emosionalitas aku disini sangat tergambar dengan tulisannya yang seperti tidak terima.
Bait 5 :
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Bait kelima merupakan kekhawatiran aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia. Dan aku merasakan keputus asaan pada larik kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

3.3  Rima
Rima adalah pengindahan puisi dalam bentuk pengulangan bunyi di akhir. Puisi “cintaku jauh di pulau” memiliki rima berupa cacophony, yaitu perulangan bunyi-bunyi yang berat, menekan, menyeramkan, mengerikan, seolah-olah seperti suara desau atau bunyi burung hantu. Dalam puisi yang berjudul cintaku jauh di pulau, hampir seluruh lariknya berakhiran dengan vokal u. Bunyi vokal u termasuk ke dalam bunyi yang berat dan menekan. Puisi “cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar ini menggambarkan suasana batin yaitu sedih dan penyesalan karena si aku meninggalkan sang kekasih sendirian.

3.4  Pemilihan Kata
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan dalam sebuah puisi, yang meliputi kata denotatif dan kata konotatif. Kata denotatif adalah kata yang memiliki makna sebenarnya, sedangkan kata konotatif adalah kata yang memiliki makna tidak sebenarnya.
Pada puisi “cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar diceritakan bahwa penyair tengah berada dalam kondisi penyesalan, kebingungan, putus asa, sedih sehingga diksi yang digunakan oleh penyair adalah diksi yang menggambarkan perasaan yang ragu, bimbang, dan lemah. Pada puisi tersebut terdapat beberapa diksi yang mengandung makna denotatif dan konotatif.
Diksi yang mengandung makna denotatif terdapat pada kata “gadis manis” yang memiliki makna kekasih yang manis. Dan pada kata “pulau”, yang memiliki makna tanah (daratan) yang dikelilingi air (di laut, di sungai, atau di danau).
Diksi yang mengandung makna denotatif juga terdapat pada kata “bulan memancar”, kata bulan memiliki makna benda langit yang mengitari bumi, bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari. Pada larik “angin membantu, laut terang, tapi terasa” kata angin yang memiliki makna gerakan udara dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah, terdapat pada kata “laut”. Laut  memiliki makna kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Dan terdapat pada larik “aku tidak ‘kan sampai padanya” yang memiliki makna bahwa si aku tak akan pernah bertemu dengan kekasihnya.
Diksi yang mengandung denotatif juga terdapat kata “Di air yang tenang”, air memiliki makna cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau yang diperlukan dalam kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara kimiawi mengandung hidrogen dan oksigen. Pada larik “ajal bertakhta, sambil berkata:” memiliki makna batas hidup telah ditentukan Tuhan, saat mati.
Diksi yang mengandung denotatif juga terdapat kata “amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!” yang memiliki makna bahwa si aku telah melewati laut telah lama. Pada kata “perahu yang bersama ‘kan merapuh!” memiliki makna perahu yang ditumpangi oleh si aku akan hancur bersamanya.
Diksi yang mengandung denotatif juga terdapat pada larik “manisku jauh di pulau” bermakna sang kekasih jauh darinya karena berada di pulau. Dan terakhir pada larik “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri” makna dari kata mati adalah sudah hilang nyawanya, tidak hidup lagi”
Selain diksi yang mengandung makna denotatif, juga terdapat diksi yang mengandung makna konotatif. Diksi yang mengandung makna konotatif terdapat pada larik “cintaku, jauh di pulau”. Kata cintaku dapat diartikan kekasihnya. Dalam larik “di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar’ memiliki arti ole-ole adalah buah tangan/oleh-oleh. Lanjut ke larik “di perasaan penghabisan segala melaju”, kata perasaan penghabisan disini adalah dengan rasa cintanya yang tanpa tersisa. Dalam larik “tujukan perahu ke pangkuanku saja”, kata pangkuan memiliki makna bahwa perahu akan mengalami kehancuran. Dan yang terakhir adalah larik “sebelum sempat berpeluk dengan cintkau?!” memiliki makna bahwa aku belum sempat memeluk dan bertemu dengan kekasihnya.

3.5  Citraan
Citraan adalah untuk memberi gambaran yang jelas tentang isi puisi. Dalam puisi ini juga menggunakan citraan-citraan. Hal itu terdapat dalam “Perahu melancar, bulan memancar,”. Citraan yang digunakan adalah citraan penglihatan karena perahu melancar dan bulan memancar hanya bisa dilihat. Citraan perabaan dalam larik “Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku”.

3.6  Nada/Suasana

Nada atau suasana yang terdapat dalam suatu peristiwa biasanya erat sekali hubungannya dengan latar cerita. Nada yang digunakan oleh penyair dalam puisi tersebut adalah nada kegetiran dan kekhawatiran. Hal ini tampak dengan penggunaan kata yang menggunakan huruf r di akhir kata, yaitu : melancar, memancar, pacar. Akhir bunyi r menggambarkan suasana yang tidak nyaman.
Juga terdapat suasana sedih dengan digunakannya bunyi akhir –uh pada kata rapuh, tempuh akhir bunyi –u yang berulang pada bait ketiga. Penggunaan nada –u yang berulang menunjukkan kesedihan dan ketidakberdayaan.

3.7  Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah alat tertentu yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik atau terpukau atasnya. Terdapat lima gaya bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi cintaku jauh di pulau, yaitu gaya bahasa asonansi, gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa kiamus, gaya bahasa erotesis dan gaya bahasa personifikasi.
Dalam larik “Cintaku jauh di pulau”, “Perahu melancar, bulan memancar”, “angin membantu, laut terang, tapi terasa”, “aku tidak ‘kan sampai padanya”, “Di air yang tenang, di angin mendayu”,  “Ajal bertakhta, sambil berkata:”, “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”, “Perahu yang bersama ‘kan merapuh!”,  penyair menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal a pada larik tersebut.  Dalam larik “di perasaan penghabisan segala melaju”, “Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!”, penyair menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal e pada larik tersebut.  Dalam larik “Manisku jauh di pulau”, penyair menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal u  pada larik tersebut. Dalam larik  “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri” penyair menggunakan gaya bahasa asonansi. Hal ini terbukti dengan adanya perulangan huruf vokal i pada larik tersebut.
Dalam larik “Perahu melancar, bulan memancar”, “Ajal bertakhta, sambil berkata:”, “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”, “Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!”, “Perahu yang bersama ‘kan merapuh”, “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri”, penyair menggunakan gaya bahasa hiperbola. Hal ini terbukti dengan adanya perbandingan yang melebih-lebihkan yang bergaris bawah.
Dalam larik “angin membantu, laut terang, tapi terasa”, “Di air yang tenang, di angin mendayu”, “Mengapa ajal memanggil dulu”, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi. Hal ini terbukti dengan adanya mengorangankan benda mati sebagai manusia yang bergaris bawah.
Dalam larik “kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri”, penyair menggunakan gaya bahasa kiamus. Hal ini terbukti dengan berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat.
Dalam larik “Mengapa Ajal memanggil dulu, Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!” penyair menggunakan gaya bahasa erotesis. Hal ini terbukti dengan adanya semacam pertanyaan yang dipergunakan namun tidak menghendaki jawaban.
Gaya bahasa yang paling dominan digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi “Cintaku jauh di pulau” yaitu gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa asonansi merupakan semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.

3.8  Nilai Etika/ Moral
Dari puisi “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar, kita dapat mengambil nilai etika/moral kehidupan yaitu ketika kita merasakan cinta kepada seseorang kita harus memperjuangkannya. Memperjuangkan dengan sekuat tenaga dan  butuh waktu lama, terdapat pada larik “Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!”. Akan tetapi, jalan yang sudah bertahun ditempuh tersebut bukan berarti menandakan perjuangan belum berakhir dan bisa hidup bersama, tetapi juga bisa berakhir sedih karena harus berpisah dan tidak melanjutkan hubungan kembali. Jika kita berada dalam kondisi tersebut, maka harus siap untuk menjalaninya.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
 “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar ini memiliki tema tentang Kasih Tak Sampai. Puisi “Cintaku jauh di pulau” memiliki rima berupa cacophony, yaitu perulangan bunyi-bunyi yang berat, menekan, menyeramkan, mengerikan, seolah-olah seperti suara desau atau bunyi burung hantu. Puisi ini memiliki diksi yang mengandung makna konotatif dan denotatif. Dalam puisi “Cintaku jauh di pulau” mengandung citraan visual dan perabaan. Nada puisi ini mengandung kegetiran dan kekhawatiran. Juga terdapat suasana sedih.
Terdapat lima gaya bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi cintaku jauh di pulau, yaitu gaya bahasa asonansi, gaya bahasa hiperbola, gaya bahasa kiamus, gaya bahasa erotesis dan gaya bahasa personifikasi. Dari kelima gaya bahasa tersebut, gaya bahasa yang paling dominan digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi  “Cintaku jauh di pulau” yaitu gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa asonansi merupakan semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Dari puisi “Cintaku jauh di pulau” ini, kita dapat mengambil nilai etika/moral kehidupan yaitu ketika kita merasakan cinta kepada seseorang kita harus memperjuangkannya.


DAFTAR PUSTAKA


Apresiasi Sastra Malang: Yayasan Asih Asah Malang (Y A 3 MALANG).
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSES BELAJAR BAHASA

“ PROSES BELAJAR BAHASA” Dosen  pengampu : M. Bayu Firmansyah, M.Pd   Disusun Oleh : Nama : Lailatul Fitria ( 16188201046) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI PASURUAN Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan 2016-2017 A.       PROSES BELAJAR BAHASA Ketika seseorang mulai belajar menguasai bahasa pertama (B1), mereka hidup dan tinggal di lingkungan masyarakat penutur B1 untuk keperluan hidup dengan masyarakat sekitarnya. Dan tidak mungkin bisa hidup tanpa menguasai bahasa masyarakatnya. Selain itu, mereka memperoleh situasi yang sangat kondusif karena semua orang di lingkungannya menggunakan bahasa secara aktif. Sering kali kita belajar bahasa di sekolah melakukan kesalahan berbahasa. Bahkan ketika diuji dan dinilai, ada yang tidak lulus. Hal ini terjadi bukan saja untuk mempelajari B2 atau bahasa asing tetapi juga ketika mereka mempelajari B1. Banyak anak Indonesia...

STRATEGI INOVATIF KETERAMPILAN BERBAHASA

STRATEGI INOVATIF KETERAMPILAN BERBAHASA Dosen pengampu : M. Bayu Firmansyah, S.S, M.Pd Disusun Oleh : Lailatul Fitria   (16188201046) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI PASURUAN Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan 2019 A.       Pendahuluan Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa seseorang dapat menyampaikan ide, pikiran, peasaan atau informasi kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Penggunaan metode dan teknik yang variatif diharapkan tidak membuat jenuh dan monoton dalam menyajikan materi pelajaran. Penggunaan berbagai teknik dan metode yang inovatif dapat menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif.   Pesera didik dalam kaitan ini ikut terlibat secara langsung dalam menyerap informasi dan menyatakan kembali hasil rekaman informasi yang diperolehnya sesuai dengan ke...