“ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA”
Dosen pengampu :
M. Bayu
Firmansyah, M.Pd
Disusun Oleh :
Lailatul Fitria (16188201046)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan
2016-2017
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR
ISI..............................................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................................1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Syarat
Kewacanaan Suatu Teks......................................................................................2
2.2 Peranan
Konteks Situasi Dalam Interpretasi Wacana.....................................................4
2.3 Topik
dan Representasi Isi Wacana................................................................................7
2.4 Kekohesian
dan Kekoherensian Dalam Wacana.............................................................7
2.5 Implikasi
Analisis Wacana Dalam PBI...........................................................................9
BAB
III PENUTUP
3.1 Simpulan.......................................................................................................................12
3.2 Saran.............................................................................................................................13
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................14
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah – Nya kepada
kita sekalian, sehingga dalam kehidupan kita dapat berkarya serta melaksanakan
tugas dan kewajiban di bidang masing – masing. Semoga kita semua selalu
mendapat petunjuk dan perlindungan – Nya sepanjang masa. Dan dalam pada itu
dengan izin – Nya, Alhamdulillah niat dan tekad saya untuk menyelesaikan
penyusunan Makalah Tentang “Analisis
Wacana Dalam Pembelajaran Bahasa” dapat tersusun dengan baik.
Makalah ini di susun dengan bahasa
yang sederhana dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori yang di
bahas. Kendati demikian, tak ada gading yang tak retak. Saya menyadari bahwa
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu saya
terbuka dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif dari
semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, saya berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Pasuruan, 18 November 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Analisis Wacana sebagai studi bahasa yang didasarkan
pada pendekatan Pragmatik berarti mengkaji wacana bahasa dalam pemakaiannya
berdasarkan konteks situasinya. Wacana
yaitu suatu konstruksi yang terdiri atas kalimat yang satu diikuti oleh kalimat
lain, yang merupakan suatu keutuhan konstruksi dan makna (Samsuri, 1986).
Dengan demikian sebenarnya wacana dapat berupa wacana lisan maupun wacana
tulis. Wacana tulis biasa disebut teks, namun karena wacana lisan bila akan
dianalisis juga harus ditranskrip dalam bentuk tulisan, keduanya juga disebut
teks.
Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis dan
menginterpretasi pesan yang dimaksud pembicara atau penulis dengan cara
merekonstruksi teks sebagai produk ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan
sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat
diujarkan/dituliskan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini penulis merumuskan
beberapa masalah berikut :
1)
Apa syarat kewacanaan suatu teks?
2)
Apa peranan konteks situasi dalam interpretasi
wacana?
3)
Bagaimana topik dan representasi isi wacana?
4)
Bagaiamana kekohesian dan kekoherensian
dalam wacana?
5)
Bagaimana implikasi analisis wacana
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulis membuat makalah ini
sebagai berikut :
1)
Mendeskripsikan syarat kewacanaan suatu
teks.
2)
Mendeskripsikan peranan konteks situasi dalam
interpretasi wacana.
3)
Mendeskripsikan topik dalam wacana.
4)
Mendeskripsikan kekohesian dan
kekoherensian dalam wacana.
5)
Mendeskripsikan implikasi analisis
wacana dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syarat Kewacanaan Suatu Teks
Wacana lisan
maupun tertulis disebut dengan teks, dengan demikian pada waktu kita
menganalisis wacana sesungguhnya yang diaalisi adalah sebuah teks. Akan
dikemukakan syarat kewacanaan suatu teks wacana. Ada 7 (tujuh) syarat
kewacanaan suatu teks (Samsuri, 1986), yaitu :
(1) Kohesi
Cara bagaimana komponen yang satu berhubungan dengan komponen yang lain.
Komponen yang dimaksud disini bisa berupa kata dengan kata, kalimat satu dengan
kalimat yang lain berdasarkan sistem bahasa itu.
(2) Koherensi
Cara bagiamana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi konsep dan
hubungan, menjadi relevan dan saling mengikat. Kalimat anak-anak sedang
bermain. Frasa anak-anak merupakan konsep objek, bermain
merupakan konsep kegiatan, sedangkan sedang sebagai konsep
keberlangsungan. Hubungan antara anak-anak
dengan dengan bermain dalam kalimat
di atas merupakan hubungan pelaku kegiatan. Ada beberapa cara untuk untuk
menjalin hubungan itu, yaitu:
a)
Hubungan logis
b)
Hubungan sebab akibat
c)
Hubungan kewaktuan
Dengan demikian secara
ringkas dapat dikatakan bahwa kohesi ,erupakan jalinan isi (pikiran) yang
terkandung di dalam bentuk bahasa.
(3) Intensionalitas
Sikap penghasil wacana agar seperangkat kejadian-kejadian membentuk
sarana teks yang bersifat kohesi maupun koheren dalam melaksanakan keinginan
penghasil. Suatu wacana yang mengandung intensionalitas kadang-kadang tidak
memperhatikan kekohesifannya. Kalimat nah, dimana kau–di bagian mana
kota ini kau tinggal? Memiliki intensionalitas dalam komunikasi karena
tujuan untuk mempertahankan kohesi tidak terpenuhi.
(4) Akseptabilitasi
Suatu wacana menunjukkan seberapa besar keberterimaan wacana bagi
penerima wacana. Hal ini berurusan dengan perangkat kejadian yang mestinya
membentuk wacana yang kohesif dan koheren serta mempunyai kegunaan maupun
relevansi bagi penerima. Contoh :
A : Gempa tadi malam hebat betul, ya?
B : Iya. Sampai gudang tetangga kami runtuh.
Ujaran A memiliki
keberterimaan (akseptabilitasi) bagi si B. bahkan ada wacana yang mengandung
keberterimaan tinggi tetapi oleh lawan bicara sengaja dibelokkan, meskipun hal
semacam itu hanya sering terjadi dalam berolok-olok.
A : Panas-panas satai ayam,
itu kesukaan kami.
B : O, betul? Apakah
kesukaan orang Indonesia bukan hangat-hangat tai ayam?
A : Wah, yang benar aja
B : Maaf deh! (Samsuri,
1986)
(5) Informativitas
Seberapa besar suatu wacana berkadar informasi bagi penerima wacana.
Ujaran Laut itu hanya air tidak terkandung informasi apa-apa
karena sudah umum diketahui, meskipun wacana itu sangat kohesif dan koheren.
Baru setelah kita mengerti kelanjutannya bahwa Laut itu hanya air dalam arti
bahwa substansi yang dominan yang terdapat disana adalah air. Sebenarnya, laut
merupakan larutan gas dan garam di samping organism-organisme hidup yang sangat
besar jumlahnya ... Penegasan tersebut merupakan sesuatu yang bersifat
informatif bagi penerima wacana.
(6) Situasionalitas
Yaitu faktor-faktor yang menyebabkan suatu wacana relevan dengan situasi
yang sedang berlangsung. Rambu-rambu
di jalan: pelan-pelan banyak anak kecil bagi seorang
pengendara motor sangat jelas, ia disuruh mengendarai kendaraan secara
pelan-pelan karena disekitar tempat itu banyak anak-anak. Disamping itu
situasionalnya terpenuhi, informativitasnya juga terpenuhi.
(7) Keinterwacanaan
Yaitu segala hal yang berurusan dengan faktor-faktor yang menyebabkan
penggunaan wacana yang satu bergantung pada pengetahuan tentang satu wacana
atau lebih yang ditemui sebelumnya. Seorang pengemudi mobil yang menjalankan
mobilnya secara pelan-pelan setelah melihat rambu : Pelan-pelan banyak anak-anak dan sampai di ujung jalan ia menemukan
rambu lain yang berbunyi : Terima kasih,
dan selamat jalan akan sangat paham maksudnya karena pemahamannya itu
terkait dengan pemahaman wacana yang ada sebelumnya. Apabila pengemudi lain
yang datang tidak dari ujung jalan yang memuat rambu pertama tetapi berasal
dari jalan lain yang kemudian berbelok dan menabrak anak kecil yang menyeberang
jalan, pada jalan yang memuat rambu terima kasih, dan selamat jalan, ia akan
bertanya-tanya “mengapa menabrak anak
kecil justru diberi ucapan selamat” dan barangkali bergumam “apa yang perlu diterimakasihi!”. Hal
ini terjadi karena wacana itu hanya dapat dipahami apabila seseorang telah
memahami wacana sebelumnya. Bagi orang yang tidak memahami wacana sebelumnya
akan terjadi hambatan dalam berkomunikasi.
Alat interpretasi wacana sesungguhnya merupakan alat pembangun pada saat
menghasilkan wacana. Meski demikian tidak berarti orang yang berbicara atau
menulis selalu sadar akan perlunya memperhatikan unsure-unsur pembangun wacana
tersebut. Kenyataan membuktikan tidak setiap wacana mudah dipahami oleh pembaca
dan penulis. Begitu sebaliknya tidak semua orang dapat menginterpretasi wacana
yang dimaksud pembicara atau penulis. Tidak semua orang menangkap pesan yang
dimkasud oleh peembaca/pendengar meskipun teks yang sama pesannya bisa
ditangkap dengan mudah oleh pendengar lainnya.
2.2 Peranan Konteks Situasi Dalam Interpretasi
Wacana
Analisis wacana menganalisis
penggunaan bahasa dalam konteks situasi pembicara atau penulis, sedangkan
penelitian wacana lebih difokuskna pada hubungan pembicara dengan ujaran dan
terutama yang menjadi sebab penggunaannya. Analisis wacana akan mendeskripsikan
apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut.
Dalam kaitannya dengan hal ini yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
(1)
Referensi
Referensi
dalam pandangan lama adalah hubungan antar kata dengan bendanya. Misalnya kata kursi merujuk pada benda yang berfungsi
sebagai tempat duduk, berkaki empat, terbuat dari kayu, besi, atau bambu dan
seterusnya. Dalam analisis wacana yang dimaksud referensi dapat dijelaskan
dengan contoh-contoh berikut ini :
A : Paman
saya baru pulang dari Canada pada hari minggu, ia tiba di rumah pukul 00.00
dini hari
B : Berapa
lama dia akan tinggal disini? Ataukah akan segera kembali lagi?
A : Oh
tidak, dia tinggal di Canada. Ia kawin dengan bibi saya. Ia telah meningal
dunia beberapa tahun silam (Samsuri, 1986
Frasa paman saya dan kata dia merujuk pada si
individu tertentu dan frasa bibi saya dan ia merujuk pada si individu tertentu
yang lain. Dalam analisis wacana tidak akan membahas frasa paman saya dan ia
merujuk pada bibi saya seperti dalam analisi bahasa secara linguistik. Dengan
demikian referensi ujaran itu dibawa oleh pembicara. Dengan demikian frasa
paman saya mengandung referensi bahwa saya punya paman.
(2) Praanggapan
Adalah apa
yang dianggap oleh pembicara menjadi dasar pemahaman bersama (common ground) lawan bicara percakapan (Brown, 1985: 29). Frasa paman saya dalam kalimat diatas
mengandung praanggapan bahwa pembicara mempunyai paman dan informasi itu lebih
diketahui oleh lawan bicara sehingga tidak perlu diinformasikan lagi. Benar
tidaknya praanggapan pembicara terhadap lawan bicara akan dietahui dari
sambutan lawan bicara terhadap ujaran pembicara.
Jika
sambutan lawan bicara berbunyi Berapa
lama pamanmu akan tinggal di sini atau dia akan segera pergi? Pembicara
boleh bergembira karena lawan bicara mengetahui bahwa saya miliki paman, lawan
bicara telah mengetahuinya. Dengan demikian antara pembicara dengan lawan
bicara memiliki dasar pemahaman yang sama (common
ground) sehingga komunikasi dapat berlangsung.
Namun,
apabila lawan bicara tidak memiliki dasar pemahaman yang sama dengan pembicara,
komunikasi menjadi agak terhambat.
(3) Implikatur
Digunakan
dengan maksud apakah pembicara dapat membayangkan, mengingatkan, atau
mengartikan secara berbeda yang dinyatakan oleh pembicara secara literal
(trice, 1975 dalam Brown 1985: 31). Berlangsungnya pembicara itu berkat adanya
“kesepakatan bersama” secara tidak tertulis mengenai hal yang dibicarakan harus
saling berhubungan (Kaswanti, 1987). Contoh berikut akan dapat memperjelas
pengertian implikasi: “Saya ini jelek-jelek angkatan empat lima, lho!”
Implikasinya bahwa pada 1945 merupakan masa perjuangan maka dia ikut berjuang.
Jadi dia seorang pejuang. Dengan demikian dia berjasa terhadap negara dan
bangsa. Karena implikatur itu timbul dalam suatu percakapan, maka disebut
implikatur percakapan yaitu sesuatu yang dinyatakan secara tersirat dalam
pembicaraan.
(4) Inferensi
Alat untuk
mengambil kesimpulan. Misalnya ujaran “Sumuk, lho!” inferesinya udaranya panas
sehingga sumuk. Namun, menarik kesimpulan hanya dengan alat inferensi saja
kadang-kadang belum cukup. Misalnya “John pergi sekolah” kesimpulannya bahwa
john adalah seorang pembelajar, tetapi dengan adanya ujaran berikutnya “tetapi
ia tidak dapat membersihkan ruang kelas” inferensi kita menjadi keliru ternyata
John bukan anak sekolah melainkan seorang tukang kebun. Dengan demikian
inferensi juga harus memperhatikan ko-teks (co-text) sebelum atau sesudahnya.
(5) Konteks situasi
Segala
situasi yang dapat melingkupi suatu ujaran dan dapat menentukan maksud. Apa
interpretasi kita bila melihat ada dua orang muda-mudi yang duduk berhimpitan
di suatu tempat. Bila kita mengetahui bahwa kedua muda-mudi itu duduknya di
dalam bus yang penuh dengan penumpang dan kursi yang ditempati seharusnya hanya
untuk dua orang, tetapi ditempati oleh tiga orang maka interpretasi kita
menjadi sangat biasa. Akan tetapi jika mereka berada di tengah taman alun-alun
yang duduk berhimpitan maka interpretasi kita menjadi lain lagi.
(6) Ko-teks
Kalimat
yang ada sebelum atau sesudah ujaran untuk membantu interpretasi suatu ujaran.
Kalimat Linda adalah gadis yang selalu berbicara terbuka, belum
member informasi apa-apa terhadap pembaca atau pendengar tetapi begitu ada
ujaran lain : a) aku sangat menyukainya atau b) aku tidak akan mengatakan sesuatu
yang bersifat rahasia padanya, baru jelas maksud pembicara. Jadi aku
sangat menyukainya dan aku tidak akan mengatakan sesuatu yang bersifat rahasia
padanya merupakan Ko-teks. Ko-teks dapat juga dalam bentuk analogi artinya
menjelaskan sesuatu berdasarkan sesuatu yang lain yang pernah dimengerti.
(7) Interpretasi tokal
Interpretasi
berupa prinsip yang menganjurkan kepada pendengar untuk menyusun konteks yang
lebih luas daripada yang diperlukan untuk sampai pada interpretasi yang
diinginkan. Ujaran “Tutup pintu” pendengar tidak perlu bertanya pintu mana yang
harus ditutup atau mencari pintu lain yang lebih jauh dari tempatnya, tetapi
cukup melakukan terhadap pintu yang terdekat darinya atau kalau pintu yang
terdekat darinya ternyata sudah tertutup dia bisa menjawab “Sudah tertutup”.
2.3 Topik Dan Representasi Isi Wacana
Topik dalam
suatu wacana tidak sama dengan topik dalam suatu kalimat : Orang itu bagus
sekali rumahnya. Frasa orang itu adalah topic (subjek), sedang bagus sekali
rumahnya adalah comment/keterangan yang terdiri atas bagsu sekali adalan
predikat dan rumahnya sebagai objek. Analisi demikian tidak akan disikapi dalam
analisis wacana. Topik yang dimaksud adalah topic pembaca. Dengan demikian
topik kalimat diaas adalah bagus sekali. Frasa bagus sekali menjadi substansi
dari rumahnya (ada rumah yang jelek, rumah cukup bagus, dan rumah bagus
sekali).
Percakapan orang
sesuatu bisa saja tentang topik yang sama, misalnya:
A : Sudah lama tidak hujan,,
sekarang sudah mulai hujan.
B : Iya, rupanya sudah mulai
musim hujan lagi?
A : Mungkin! Baru hujan
sekali saja udaranya kelihatan bersih dan terasa segar.
Percakapan
antara A dan B tentang topik yang sama yaitu hujan, B sebagai lawan bicara
memberi tanggapan yang sepadan dengan maksud yang dibicarakan oleh A. Apabila
topik yang dibicarakan pada masalah yang sama, pembicaraan ini disebut
topicality (Brown, 1985: 84). Memang kadang-kadang topic yang dibicarakan masih
berhubungan, tetapi pembicara sering mengangkat permasalahan pembicaraan
sendiri-sendiri. Hal semacam ini disebut on a topic. Di dalam analisi wacana,
bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan
adalah saat terjadinya perubahan dari topic pembicaraan ditandai dengan
paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi).
Dalam bahasa lisan yang perlu diperhatikan adalah pemerkah-pemerkah paraton
tersebut. Biasanya berupa kata-kata, intonasi yang melemah dsb. Misalnya O,
iya, omong-omong suami mu itu, …..anu, saya kok lupa…..
2.4 Kekohesian Dan Kekoherensian Dalam
Wacana
Apabila suatu
kalimat memiliki keruntutan hubungan struktur kalimat, kalimat tersebut disebut
kohesif. Jadi kohesif adalah keruntutan hubungan antar kalimat, misalnya:
A : Wah, ada tamu, tolong bukakan pintu
B : saya sibuk, maaf ya!
A : Ya sudah saya bukanya sendiri
Ujaran antara A dan B terjalin melalui hubungan struktur. Hal ini
kelihatan jelas melalui frasa “tolong bukakan pintu” dengan frasa “maaf ya”
yang maksdunya “maaf ya saya tidak dapat membuka pintu”. Lebih jelas lagi
setelah A memberikan tanggapan berikutnya, yaitu “saya bukanya sendiri”.
Pertalian antara ujaran pertama dengan ujaran kedua terjadi secara kohesif
artinya ada pemarkah hubungan berupa tolong dan maaf. Sedangkan pemarkah
hubungan pada kalimat ketiga (ujaran A) berupa frasa “saya bukanya sendiri”.
Kohesi dapat juga terdapat dalam satu kalimat/sepotong ujaran, misalnya:
mangga dan apel buah kesukaan saya, tetapi sayang keduanya masih mahal
harganya, kalimat tersebut merupakan kalimat majemuk yang terdiri atas dua
klausa yaitu “mangga dan apel buah kesukaannya dan “keduanya masih mahal
harganya”. Kedua klausa ersebut dihubungkan oleh kata tetapi. Pemarkah hubungan
laib yaitu kata keduanya kata ini mengacu kepada kata mangga dan apel, hal ini
disebut anaphora (Halliday dan Hassan, 1976: 4).
Hubungan kekohesifan suatu ujaran yang masih berada dalam suatu teks
dinamakan endofora. Hal ini bisa ditandai dengan pemarkah berupa kata sambung
dan tetapi, sehingga, kemudian, dst.
Pertalian mata rantai (proposisi) satu denga yang lain dalam suatu wacana
ada beberapa jenis, yaitu: a) dengan kata penghubung dan b) tanpa menggunakan
kata penghubung. Hasil pertaliannya juga bisa terjadi dalam beberapa bentuk 1)
kohesif sekaligus koheren, 2) kohesif tidak koheren, 3) tidak kohesif tapi koheren.
Jenis pertalian pertama yang hasilnya bisa koesif sekaligus koheren dan
jenis pertalian kedua, kohesif tetapi tidak koheren dapat diambil contoh
sebagai berikut:
a. Ia duduk termenung karena (ia) sedih
b. Pak Gunadi mengetik soal maka saya jatuh sakit
Pertama, mata rantai “ia sedih” dihubungkan dengan “ia duduk termenung”
memakai kata sambung karena, “ia sedih” merupakan sebab terjadinya suatu
peristiwa “ia duduk termenung”. Kalimat kedua “Pak Gunadi mengetik soal”
merupakan sebab terjadinya peristiwa mata rantai kedua yaitu “saya jatuh sakit”
karena adanya kata sambung. Namun dari segi isi hubungan mata rantai tidak
logis sehingga meskipun pertaliannta sangat kohesif tetapi tidak memiliki
koherensi.
Jenis pertalian ketiga yaitu pertalin tanpa menggunakan kata sambung.
Hasil pertalian ini tidak kohesif, tetapi sangat koheren atau tidak kohesif dan
tidak koheren.
a.
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa (Amir
Hamzah, 1978: 5)
b.
Harga menjes (tempe bongkrek) turun secara
drastis. Harga minyak di pasaran jatuh sejak terjadinya resesi ekonomi dunia.
Baris-baris puisi dalam
contoh diatas tidak kohesif karena tidak terdapat kata sambung. Jika diletiliti
dari pemakaian kata-katanya yaitu kata satu dalam baris “satu kekasihku” yang
dikaitkan dengan baris “aku manusia” menunjuk bahwa aku sebagai pembicara ysng
biasanya memiliki kerinduan terhadap rasa dan rupa. Pertalian baris tersebut
dapat dapat ditunjukkan dengan cara memfrasakan menjadi “(tinggal) satu
kekasihku (bahwa) aku sebagai manusia (biasa (juga) rindu rasa (dan) rindu
rupa”. Jadi baris puisi tersebut satu sama lain meskipun tidak kohesif ternyata
memiliki pertalian isi yang sangat koheren.
Contoh selanjutnya kalimat ”
Harga menjes (tempe bongkrek) turun secara drastic” dan “Harga minyak
di pasaran jatuh sejak terjadinya resesi ekonomi dunia” meskipun berbicara
dalam topic yang sama (on a topic) yaitu masalah harga, tetapi tidak ada
hubungan sama sekali karena pembicara satu berbicara harga sesuatu (harga
menjes) sedang pembicara lain berbicara harga sesuatu (harga minyak), meskipun
mungkin dalam konteks yang sama yaitu “resei ekonomi dunia”. Jadi contoh
tersebut tidak ada kohesi dan koherensinya.
Jika dikembalikan kepada
unsure pembangun kehorensian dan pemahaman isi dari pesan yang disampaikan
melalui kata-kata dan struktur kalimat, hal diatas dapat dikategorikan struktur
sintaksis dan leksikal yang digunakan dalam menyampaikan pesan melalui bahasa
untuk bisa sampai pada interpretasi. Cara lain untuk memahami isi informasi dan
melihat tingkat kekoherensiannya suatu wacana, yaitu 1) prinsip analogi (the
principles of analogy), 2) interpretasi local (local interpretation), 3) ciri
umum konteks (general features of context), 4) keteraturan kerangka struktur
wacana (regularities of discourse structure out-lined), dan 5) ciri-ciri tetap
suatu organisasi struktur informasi (regular features of information structure
organization).
2.5 Implikasi Analisis Wacana Dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia
Analisis wacana
menawarkan sesuatu yang baru. Bahasa dianalisi bukan setelah terlepas dari
pemilik, pemakai dan konteksnya, tetapi pada saat peristiwa itu sedang
berlangsung. Dengan demikian, analisisnya ditekankan pada analisis proses
berbahasa. Nmun, karena hal ini dilakukan terpaksa dipergunakan rekaman video,
tape, atau transkrip tertulis, sehingga kegiatan analisisnya dilakukan dengan
cara merekontruksi wacana yang telah berupa produk dengan menggunakan alat-alat
interpretasi sehingga suasan pemakaian bahadsa yang dimunculkan oleh pemakai
bahasa bisa digambarkan kembali. Dengan demikian, analisis wacana yang
dihampiri dari sudut pragmatic menjadi penting dalam pengajaran bahasa.
Kegiatan
pengajaran bahasa setidaknya ada dua hal yang perlu di perhatikan, yaitu: a)
proses pengajaran dan b) tujuan yang akan dicapai. Proses pengajaran pada
hakikatnya proses komunikasi antar partisipan, yaitu antara guru dengan murid.
Guru menyampaikan pesan berupa materi pelajaran kepada murid dalam bentuk
wacana. Bahasa yang dipakai guru bukanlah bahasa yang bebas tetapi bahasa yang
dibangun dengan mempergunakan alat pembangun wacana agar mudah dimengerti
murid.
Murid sebagai
partisipan yang menangkap pesan yang disampaikan oleh guru dengan cara
menginterpretasi ujaran guru. Mereka mencoba memahami mkasud guru dengan cara
merekonstruksi ujaran dalam pikirannya. Murid hanya akan mampu menangkap maksud
yang terdapat dalam ujaran secara tepat apabila mampu menghadirkan kembali
alat-alat pembangun wacana yang dipakai oleh guru menjadi alat interpretasi.
Guru merumuskan
tujuan pengajaran untuk murid, dengan demikian tindakan guru mengatasnamakan
murid. Murid sebagai orang yang belajar seharusnya mereka mengerti apa yang
harus dicapai agar segala kegiatan yang dilakukan senantiasa mengarah pada
tujuan serta tidak ada perasaan terpaksa dalam berbuat. Di Indonesia, tugas ini
diwakili oleh guru. Sehingga tujuan belajar pembeajar telah disiapkan dalam
bentuk paket sedang murid tinggal meraihnya.
Tujuan
pengajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah agar pembelajar terampil
berbahasa baik secara lisan atau tertulis. Berdasarkan rumusan tujuan tersebut
dapat ditarik kesimpulan agar murid dapat berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia secara langsung atau tidak langsung.
Dalam rangka mencapai
tujuan tersebut analisis wacana memiliki peranan yang sangat besar. Karena
kegiatan ini dilakukan dikelas, indicator yang dapat ditunjuk adalah: 1)
kurikulum berorientasi pada tujuan, 2) murid berkomunikasi denga guru, murid
akan mencapai tujuan, maka analisis wacana berperanan sangat besar dalam
pengajaran ketrampilan menyimak dan membaca.
Menyimak dimaksudkan agar murid dapat mendengar dan mengerti bunyi bahasa
yang diucapkan oleh guru, kemudian menangkap pesan. Ketrampilan menyimak
merupakan ketrampilan reseptif lisan maka aktivitas murid berpusat pada telinga
dan fikiran. Telinga menangkap bunyi, sedangkan pikiran merekonstruksi wacana
yang diungkapkan oleh guruuntuk menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.
Menyimak merupakan kegiatan berbahasa secara reseptif dalam berkomunikasi,
pendengar/pembaca tidak mungkin akan menangkap pesan tanpa mengenali
aspek-aspek konteks situasi, koherensi, implikatur, inferensi, referensi, dst.
Membaca dimaksudkan untuk melafalkan bunyi yang tertulis kemudian menangkap
gagasan yang terkandung dalam rangkaian bunyi. Tulisan sebagai produk berbahasa
dimaksdukan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca secara tidak langsung.
Pembaca berusaha mewujudkan kembali proses penulisan menulis alat-alat
interprtasi dengan maksud untuk menangkap pesan yang terkandung dalam tulisan.
Hakikat membaca adalah melafalkan bunyi dengan maksud untuk menangkap
pesan, analisis wacana berperanan dalam usaha menangkap pesa. Pesan penulis
terkandung dalam bahasa tulis yang tersusun secara sistematis berdasarkan
kaidah bahasa dan tata tulis. Pesan bisa termuat secara hierarkis antara pesan
pokok, pesan penjelas, illustrasi, dan contoh-contoh. Wujud tulisan tidak
terlepas dari persepsi penulis terhadap objek/masalah yang dihadapi, dengan demikian
pembaca tidak mungkin hanya melafalkan tulisan kemudian dapat menangkap pesan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1
Kewacanaan suatu teks wacana. Ada 7 (tujuh)
syarat kewacanaan suatu teks (Samsuri, 1986), yaitu : (1) kohesi; (2)
koherensi; (3) intensionalitas; (4) akseptabilitas; 5) informativitas; 6)
situasionalitas; dan 7) keinterwacanaan.
3.1.2
Analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang
dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut. Dalam
kaitannya dengan hal ini yang perlu diperhatikan sebagai berikut : (1)
referensi; (2) praanggapan; (3) implikatur, (4) inferensi; (5) konteks situasi;
(6) ko-teks; dan (7) interpretasi local.
3.1.3
Topik yang dibicarakan pada masalah yang sama,
pembicaraan ini disebut topicality (Brown, 1985: 84). Memang kadang-kadang
topik yang dibicarakan masih berhubungan, tetapi pembicara sering mengangkat
permasalahan pembicaraan sendiri-sendiri. Hal semacam ini disebut on a topic. Di dalam analisi wacana,
bila kita menghadapi percakapan dua orang atau lebih yang harus diperhatikan
adalah saat terjadinya perubahan dari topic pembicaraan ditandai dengan
paragraf sedang dalam percakapan dinamakan paraton (perubahan pola informasi).
Dalam bahasa lisan yang perlu diperhatikan adalah pemerkah-pemerkah paraton
tersebut. Biasanya berupa kata-kata, intonasi yang melemah dsb.
3.1.4
Pertalian mata rantai (proposisi) satu denga yang
lain dalam suatu wacana ada beberapa jenis, yaitu: a) dengan kata penghubung
dan b) tanpa menggunakan kata penghubung. Hasil pertaliannya juga bisa terjadi
dalam beberapa bentuk 1) kohesif sekaligus koheren, 2) kohesif tidak koheren,
3) tidak kohesif tapi koheren.
3.1.5
Kegiatan pengajaran bahasa setidaknya ada dua hal
yang perlu di perhatikan, yaitu: a) proses pengajaran dan b) tujuan yang akan
dicapai. Proses pengajaran pada hakikatnya proses komunikasi antar partisipan,
yaitu antara guru dengan murid. Guru menyampaikan pesan berupa materi pelajaran
kepada murid dalam bentuk wacana. Bahasa yang dipakai guru bukanlah bahasa yang
bebas tetapi bahasa yang dibangun dengan mempergunakan alat pembangun wacana
agar mudah dimengerti murid.
3.2 Saran
1) Bagi Mahasiswa
Dalam penulisan makalah yang berjudul Analisis
Wacana Dalam Pembelajaan Bahasa, penulis mengharapkan agar seluruh mahasiswa memahami
syarat kewacanaan suatu teks; peranan
konteks situasi dalam interpretasi wacana; topik dan representasi isi wacana;
kekohesian dan kekoherensian dalam wacana; implikasi analisis wacana dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia
2) Bagi Dosen
Dalam penulisan makalah yang berjudul Analisis
Wacana Dalam Pembelajaan Bahasa, penulis mengharapkan agar kedepannya mata
kuliah Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia (MPBI) menjadi lebih baik karena sudah
ada literatur yang digunakan.
3)
Bagi Perspustakaan
Dalam penulisan makalah yang berjudul Analisis Wacana Dalam Pembelajaan
Bahasa, penulis dituntut untuk banyak membaca serta mengumpulkan beberapa
informasi. Penulis mengharapkan agar perpustakaan menambah literatur untuk
mempermudah dalam mencari informasi serta sumber.
DAFTAR
PUSTAKA
Pranowo.
2015. Teori Belajar Bahasa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Komentar
Posting Komentar